Saat Ongkos Pendidikan Membunuh Petani
Aku hanya terus berjalan sebelum matahari kembali keperaduan. Tak kuhiraukan juga lukisan alam yang menakjubkan di depanku. Hanya sesekali menolehnya, bukan karena tak indah, mungkin karena aku sudah sangat terbiasa melihatnya.
Perpaduan cahaya keemasan senja dengan kabut sore menyatu di balik keperkasaan Gunung Tandeallo. Selalu begitu, ia akan hibahkan keperkasaannya untuk memberi keindahan bagi semesta, terkhusus bagi mereka yang melihatnya. Kemungkinan bagi mereka yang terlahir dan besar di kota akan merasa takjub menyaksikannya. Ia akan ber-selfie sepuasnya kemudian mengirimnya dalam media sosial. Katanya untuk keabadian momen!
Sungguh dangkal cara berpikirnya. Berpose dengan gaya jenaka dianggap keabadian?
Andaikan Plato hidup, ia akan tertawa sesenggukan atau mungkin malah menangis sebab pemikirannnya tidak mampu membentuk manusia-manusia modern, sambil bergeming dan mengatakan, “keabadian ada dalam dunia idea, bukan dunia maya.” Atau Karl Marx, mungkin jenggotnya ikut tertawa, setelah itu dengan wajah tegas ia akan mengatakan, “keabadian manusia ada di dalam kerja.”
Tapi aku bukan seorang terpelajar apalagi seorang filsuf. Aku hanya petani yang terlahir dan dibesarkan di antara hutan-hutan lebat jauh dari perkotaan. Karena jarak yang begitu jauh dan biaya yang cukup mahal untuk ongkos pendidikan hingga membuatku hanya mampu menyelesaikan pendidikan di bangku SD.
Orang-orang memanggilku Aldi dengan sebutan panjang Aldi Putra Tandeallo. Tandeallo adalah nama kampungku, disematkan ayah di belakang namaku. Menurut ayah, ia menyematkan nama Gunung Tandeallo di belakang namaku agar keperkasaannya mengalir dalam tubuhku.
Benar saja, nama belakangku itu membuatku menjadi seorang petani yang perkasa. Walaupun berpendidkan rendah. Gunung-gunung tiap hari kutaklukkan. Semua hutan telah kujelajahi. Ganasnya terik mentari adalah vitamin bagiku.
Untuk apa juga aku mengkritik anak-anak kota yang hidup dalam glamor modern? Hidupku hanya bertani untuk cukup makan titik. Aku tak peduli dengan dunia luar. Tak peduli negara hadir ataupun tidak, merdeka atau tidak. Selama negara tidak mengganggu ketenanganku bersama asrinya alam yang membentukku, sedikitpun aku tidak akan menggubris kelakuan para elit di singgasana sana.
Buktinya, sekarang napasku tersengal-sengal setelah berjam-jam memikul padi yang baru kuambil dari lumbung di kebun yang cukup jauh dari perkampungan. Ada sekitar 20 basse (sebutan ikatan padi untuk satu ikat) yang terdiri dari 3 jenis padi. Bea mamae (beras merah), bea paria (beras paria), dan bea pobatteang (beras khusus untuk membuat makanan khas dari kampungku, dengan cara direbus bersama gula merah yang dihaluskan dan dicampur dengan parutan kelapa) di atas pundakku dengan menyusunnya di atas sebilah kayu yang kami sebut pelemba (alat yang terbuat dari kayu dengan panjang 2-3 meter untuk memikul beban).
Beban 20 basse bagi anak kecil ataupun orang yang tidak terbiasa akan kewalahan memikulnya. Karena cukup berat, saya harus berhenti berkali-kali, hingga tak terasa 2 gunung telah kulewati. Tinggal 1 gunung yang harus kutaklukkan untuk sampai di perkampungan Tandeallo. Padang-padang nama gunung ini.
Setelah tiba di puncak di antara hamparan padang ilalang, kuturunkan dengan pelan pelemba-ku (bebanku). Kurebahkan badan di atas tumpukan ilalang kering. Aku beristirahat sejenak mengambil napas dan memulihkan sedikit tenaga yang tersisa.
Kuambil botol minuman yang sedari tadi menunggu untuk diminum yang tersimpan di dalam tas karung. Semilir angin datang dari kejauhan, mungkin itu adalah utusan alam untuk memulihkan kekuatanku. Kutatap senja yang mulai merambat pelan ke peraduan. Merah jingga merona cahayanya beretak-retak gelap. Pepohanan dan bukit di bawah gunung padang-padang mulai remang menjadi bayangan siluet.
Tak kupikir lagi cerita mistis di gunung ini, tempat Belanda dulu membangun benteng. Kata orang-orang di kampung, bagi orang yang baru mendaki gunung tersebut akan disambut oleh sekumpulan tentara berbaris rapi. Katanya, itu adalah pasukan Belanda yang telah menjadi to pembuni (sebutan bahasa Ulumanda untuk orang-orang bunian). Cerita sudah sangat tua dan menjadi kepercayaan secara turun-temurun.
Sudah sangat sering orang-orang ingin mencari benteng yang dibangun Belanda itu. Bahkan di tahun lalu, sekelompok mahasiswa dari MAPALA Universitas Negeri Makassar sengaja berangkat dari Makassar untuk mendatangi tempat tersebut. Tapi nahas, mereka hanya bertemu hamparan ilalang di bukit padang-padang.
Cerita mistis yang dipercayai masyakat setempat, benteng itu hanya akan ditemukan kalau Anda benar-benar apes. Artinya, Anda ni buling (tersesat) dari permainan orang-orang bunian. Dan ini butuh keahlian khusus dari orang pintar untuk menemukan Anda. Jikalau tidak mampu, Anda juga akan menjadi orang bunian, menjadi penghuni hutan untuk selamanya.
Seperti itulah cerita mistisnya. Entah benar atau tidak, bagiku, alam tetap akan menjadi misteri bagi manusia. Secanggih apa pun teknologi yang pernah dicipta manusia untuk menaklukkan alam, toh juga alam tetap menjadi misteri, bahkan menjauh dari manusia. Tak perlu menjadi seorang filsuf ataupun ilmuwan. Cukup menjadi seorang petani untuk lebih dekat kepada alam bahkan bisa bersahabat dengannya.
Berselang beberapa menit, kekuataanku sedikit cukup pulih. Kuambil pelemba-ku, kulanjutkan perjalanan.
Setelah menuruni lereng gunung, di depanku sudah terhilat perkampungan Tandeollo.dari balik kejauhan. Suara azan magrib berkumandang di tengah-tengah perkampungan.
“Aku harus cepat sebelum dingin dan gelap malam menjilat-jilatku,” kataku dalam benak.
Hanya perlu waktu 20 menit, aku sudah tiba di pinggir sungai perbatasan antara hutan dan perkampungan. Kakiku yang lecet dan sedikit luka-luka oleh gigitan semak dan ilalang terasa sedikit perih tatkala kulangkahkan kakiku ke dasar air. Tak kuhiraukan ia.
“Aku harus mandi dulu sebelum tiba di rumah, supaya aku langsung bisa ganti baju dan kemudian mendirikan salat magrib yang sebntar lagi akan usai.”
Dingin. Segar. Hanya perlu 2 kali menyelam ke dasar air, kemudian menggosok tubuh dengan bebatuan sungai. Sudah lebih dari cukup untuk keperluan mandi.
Kupakai kembali baju kusamku, baju pembagian para caleg di 2 tahun lalu. Dengan celana yang basah, kuambil pelemba-ku dan cepat menuju ke rumah, Istri dan anakku sudah lama menunggu.
Para tetangga mulai menyahutku. Sebut saja Bapak Takdir.
“Oh, Bapak Aco (nama anak pertamaku). Berat betul lemba’am-mu (bebanmu). Singgah dulu,” sahutnya..
“Iya, pak, cukup berat. Ambillah sambasse atau beberapa basee (satu ikat atau lebih) untuk keperluan dapur, pak,” jawabku sambil berhenti di depan pintu rumahnya.
“Terima kasih, pak,” sanggah Pak Takdir.
Pak takdir hanya mengambil 1 ikat beras. Pobatteang.
“Saya pamit dulu, pak. Istri di rumah sudah menunggu.
Aku sudah berada di depan rumah, saat istriku tengah sibuk di dalam dapur. Kemudian kulepas bebanku dan mengetuk pintu. Kuucapkan salam. Istriku menjawab, sambil datang ke arahku menenteng handuk.
“Bapak sudah pulang, nak,” teriak istriku kepada 3 anak kami yang tengah sibuk berjibaku dengan buku diterangi cahaya pelita.
“Bapak pulang,” sahut anak keduaku bernama Nunu, yang sebentar lagi memasuki kelas 6 SD bulan depan.
“Iya, nak. Bagaimana PR-mu, sudah selesai cantik?” tanyaku.
Iya, pak. Ini sementara saya kerja,” jawabnya.
Sedang anak yang paling bungsu sudah terlelap tidur. Umurnya baru 1 tahun. Kuberi nama ia rausyan fikr (intelektual tercerahkan), semoga saja dengan nama itu nasibnya beruntung kelak. Tak sepertiku yang hanya mengandalkan kekuatan fisik.
Kumbil sajadah, setelah dari belakang berwudu dan ganti baju. Kulepas takbir dan sujud memohon ampun kepada sang pencipta, dan berdoa, “Ya Allah, berilah aku kekuatan secukupnya, untuk tetap menafkahi anak-anakku agar mereka bisa marajut sukses. Jauhkan nasib celaka dari anak-anakku. Amin.”
Setelah salat, aku panggil Aco (anak pertamaku). “Coba sini dulu, nak.”
“Iya, pak,” jawab Aco
“Bagaimana rencanamu, nak? Kamu mau lanjut kuliah?”
“Insyaallah, pak. Kan sampai SMA bapak hanya menyediakanku seragam sekolah. Selebihnya kemarin Aco sendri yang memenuhinya.”
“Baik! Mau kuliah di mana rencana, nak?”
“Di Makassar, pak, Universitas Negeri Makassar. Aco pilih jurusan hukum. Dan Alhamdulillah, tes kemarin, Aco berhasil lulus.”
“Kapan kamu berangkat, nak? Dan berapa ongkos pendidikanmu?”
“Minggu depan, pak. Pembayaran SPP saya sistemnya UKT, pak. Jadi tidak ada lagi uang pembangunan, pak.”
“Oke. Kapan terakhir kamu bayar?”
“Ya, pembayaran terakhir 30 Agustus, tapi kalau bisa terkumpul sebelum Aco berangkat Minggu depan, pak. Karena bapak nanti kewalahan juga, harus pergi ke Malunda untuk mengirim di ATM.,” jawabnya sambil tertunduk.
“Oke. Besok bapak ke rumah Pak Takdir pinjam uang untuk keperluan Aco. Cukup 5 juta, kan, nak?”
“Itu sudah sangat lebih dari cukup, pak.”
“Pokoknya, nak, kamu tidak usah berpikir lain-lain. Fokus belajar. Bapak akan berusaha semampu bapak untuk membiayai kuliahmu,” pungkasku meyakinkan.
“Iya, pak. Minimal Aco bisa sarjana, pak. Setelah itu menjadi kewajiban Aco menafkahi bapak dan ibu,” sambungnya dengan sambil menunduk.
“Amin, nak,” jawabku.
Azan isya menghentikan perbincangan kami. Seperti malam-malam lalu, kami mendirikan salat berjemaah bersama istri dan anak-anakku.
Lepas salat, aku duduk sambil merenung bercahayakan pelita di atas tikar yang terbuat dari anyaman rotan. “Apa yang harus jadi jaminan besok agar Pak Takdir meminjamkan uangnya?”
Setelah kupikir-pikir, kebun kopi peninggalan ayah yang berada di pinggir kampung sebagai harta yang paling berharga. Hanya itu yang kami punya. Setidaknya cukup menjadi jaminan kalau nanti aku tidak mampu membayarnya.
Malam kian larut, kantuk mulai menguasai. Kurebahkan kepalaku di atas ranjang yang beralaskan tikar. Kupeluk istriku, kukecup keningnya.
“Sungguh sabar dirimu, hingga kamu tidak pernah mengeluh, tidak pernah menuntut untuk belanja ini dan itu. Andaikan iya, celakalah diriku sebagai suami yang hanya bertani; untuk makan saja susah,” kataku dalam benak.
Fajar telah menyingsing. Suara sendu azan subuh telah lama usai. Singkong rebus dan kopi hangat telah terhidang di atas meja. Anak keduaku telah siap-siap untuk berangkat ke sekolah. Tak ada uang jajan untuknya. Ia hanya berbekal air putih dan nasi yang disediakan ibunya di rantang dengan lauk ikan asin minggung kubeli di pasar Salutambung lalu.
Setelah singkong rebus kulahap bersama kopi pahit, aku bergegas keluar menuju rumah Pak Takdir.
“Ibu, bapak keluar dulu, ya,” sahutku sambil menuju pintu rumah.
Di balik dapur, istriku menjawab, “Iya, pak.”
Tak perlu waktu lama, aku sudah berada di depan rumah Pak Takdir. Kuketuk pintunya tiga sembari mengucap salam.
“Eh, Bapak Aco. Masuk, pak,” pinta istri Pak Takdir.
Setelah dipersilakan duduk, saya duduk sambil menyilang jari di kedua tanganku.
“Ada bapak, bu?” tanyaku.
“Iya, pak, ada di belakang, kasih makan ayam. Saya panggilkan, ya, pak.”
Tanpa basa-basi, saya langsung mengutarakan maksud kedatangan.
“Begini, pak, saya meminta tolong sama bapak. Mau pinjam uang dulu, pak, untuk keperluan ongkos pendidikan Aco.
“Berapa yang dibutuhkan, pak? Insyaallah saya membantu semampu saya.”
“5 juta, pak, sudah cukup. Kebun kopi peninggalan mendiang ayah saya jadi jaminan, pak,” terangku sambil menunduk malu.
“Ah, tidak usah ada jaminan, pak. Kan kita kelurga. Kesusahanmu adalah kesusahanku juga,” jawab Pak Takdir sambil tersenyum.
“Tidak, pak. Itu sudah saya putuskan menjadi jaminan,” terangku.
“Ya tidak apa-apa kalau begitu. Intinya kita tidak saling memberatkan. Saya tidak akan menagih, pak. Aco juga kan ponakan saya.”
Lalu Pak Takdir masuk dan mengambil keperluan yang kubutuhkan.
“Ini, pak. Saya tambah 500 ribu untuk keperluan makan Aco di jalan. Itu dari saya, pak. Tidak termasuk 5 juta.
“Terima kasih banyak, pak. Bukan ingin menolak, tapi bantuan bapak 5 juta ini sudah lebih dari cukup. Tak mesti harus ada tambahannya,” terangku.
“Ah, tidak usah dipikir. Itu rezeki Aco. Dari panen cokelat (kakao) kemarin.”
“Terima kasih banyak, pak.”
Setelah bercerita panjang lebar, saya meminta pamit dan kembali ke rumah.
“Ini, bu, simpan untuk keberangkatan Aco minggu depan.”
“Alhamdulillah, pak. Ternyata Pak Takdir memberi pinjaman juga, pak,” jawab istriku sambil mengusap air mata di pipinya.
Andaikan bukan karena pendidikan anakku, aku tidak akan meminta bantuan dari siapa pun, bahkan kepada ayahku sendiri. Andaikan ia masih ada.
Waktu berlalu begitu cepat, hingga akhirnya anak pertamaku akan berangkat.
Kukecup keningnya sebelum pergi, kukatakan padanya, “Nak, kamu boleh belajar apa pun; boleh dengan siapa pun. Tapi ingat, kamu harus tetap menjadi orang yang merdeka. Tidak tergantung kepada orang lain. Kita boleh gagal, bahkan kalah berkali-kali, tapi tetap harus menang dalam pendirian.”
“Iya, pak, pesan bapak akan kuingat,” jawabnya.
Setelah kepergian Aco, malam-malamku tak tenang. Kadang sampai larut hingga azan shubuh mendapatiku merenung seorang diri. Tak pernah aku ceritakan istriku perihal ini. Utangku kepada Pak Takdir menjadi hantu yang menyeramkan di kala malam. Beban ini makin berat ketika memasuki bulan kelima Aco kuliah. 1 bulan lagi ia akan membayar SPP untuk semester keduanya.
Ya tuhan, dari mana aku mendapat uang sebesar itu? Kebun kopi peninggalan ayah akan jatuh ke tangan orang lain. Padi, sayuran yang kutanam, ditambah menjadi kuli di kebun orang tidak cukup membayar utang. Ia hanya cukup untuk keperluan dapur sehari-hari. Sungguh mahaberat cobaanmu, tuhan. Dengan apa aku menjalani ini?
Batinku terus meronta. Tiap sujudku kepada sang khalik terus menuai air mata. Baru aku sadari, aku tak seperkasa Gunung Tandeallo, seperti nama belakangku.
Hingga suatu hari, Pak Kirman tetanggaku mengajakku pergi merantau ke tanah Kalimantan. Di sana banyak kerjaan. Bulan ini akan ada pengiriman pekerja recording di salah satu perusahaan tambang yang baru melakukan tahap ekplorasi.
Ini angin segar bagiku. Berpisah dengan anak istri tidak menjadi penghambat selagi utang terbayarkan dan uang kuliah Aco dapat ditanggulangi. Itu yang terpenting.
Aku sudah tidak pernah berpikir perihal rasaku sendiri. Muimainah istriku yang kucintai tidak akan ke lain hati setelah babak belurnya kami menghadapi hidup. Dan buktinya ia tetap setia, menemani malam-malamku yang panjang, bercinta dengan penuh rasa puas tiap aku memintanya.
Esok aku akan pergi, berlayar ke tanah seberang yang gunungnya belum pernah aku pijaki, hutannya belum pernah kekembarai, bahkan mengenalinya pun tidak.
Maimunah dengan kerling mata menawan tersinar cahaya pelita. Bibirnya yang merah dan putih kulit bening bercahaya. Tersungkur di atas ranjang beralaskan tikar dari anyaman rotan, setelah menidurkan anak terakhir kami. Malam ini adalah malam terakhir kami bercinta, sungguh cantik dan seksi istriku. Kunikmati ia, hingga kumuntahkan semua sperma yang tersisa. Ah, nikmatnya.
Tak terasa suara azan subuh memergoki kami yang tengah tenggelam dalam luapan syahwat. Kusudahi hingga lekas semua beban di pundakku. Ia pun hanya menerimanya dengan desahan lembut.
Kami tersungkur tak berdaya setelahnya. Salat subuh yang biasa kami lakukan berjemaah, kami tinggalkan sejenak untuk mengisi kantong-kantong cinta yang sebentar lagi diisi oleh rindu.
Jarum jam tak berhenti berdetak. Waktu telah menunjukkan pukul 09.30. Aku segera bangun kemudian ke belakang untuk mandi. Setelah itu kupakai baju terbaikku peninggalan ayah, baju kemeja berwarna hitam yang sudah lama kulipat dalam lemari. Baju ini hanya kupakai dalam acara-acara besar di kampung atau bepergian jauh.
Kukecup kening istriku, anak terakhirku, kemudian kutinggal rumah reyokku, sambil berucap, “ayah akan secepatnya kembali, nak.”
Setelah berjam-jam di atas motor bebek dengan knalpot bogar dan ban yang dikelilingi rantai muka belakang melalui jalan licin dan berbat, akhirnya kami tiba di jalan poros Majene-Mamuju. Tepatnya Desa Salutambung Kec. Ulumanda. Hanya butuh waktu satu jam, mobil Avanza berwarna gelap sudah mengantarkan kami ke pelabuhan Simboro.
Tepat pukul 04.00 sore, kami tiba di pelabuhan. 06.00, kapal feri pun berlabuh meninggalkan Kota Mamuju. Senja kali ini benar-benar memilukan. Ketika aku menatapnya, yang ada adalah bayangan istri dan anak-anakku. Kupeluk mesra sapu tangan yang ia berikan hingga akhirnya aku tertidur.
Aku masih terbaring saat fajar mendapatiku dengan cahayanya yang kemerah-merahan. Aku pun terbangun karenanya. Kemudian segera ke toilet membasuh muka dan bercerita kepada Pak Karmin dan teman pekerja yang lain.
Hingga waktu tak terasa, kapal akan segera bersandar di pelabuhan Balikpapan. Di atas awak kapal, pengeras suara mulai berbunyi berkali-kali.
“Diharap agar penumpang mengemasi barang-barangnya karena kapal akan bersandar.”
Kuambil barangku dan kemudian kulangkahkan kakiku untuk meninggalkan kapal bersama rekan-rekanku. Para calo dan supir menawari kami untuk naik di mobil mereka. Tapi kami menolak. Kami jelaskan bahwa kami ke Sotek, menggunakan kapal klotok untuk nyeberang ke sana.
Setibanya di Sotek, kami dijemput oleh mobil Strada putih kemudian memasuki hutan tempat basecamp kami. Butuh waktu 2,5 jam untuk sampai di tempat tujuan.
Dengan kondisi jalan yang rusak parah dan becek membuat kami terkadang turun karena ban mobil terbiasa amblas. Untungnya jalanan ini tidak terlalu mendaki. Andaikan ia sepenuhnya tidak berbeda dengan kondisi jalan di kampungku.
Kami telah tiba saat seluruh pakaian dipenuhi lumpur. Sebentar lagi sore akan pergi diganti oleh gelapnya malam. Suasana hutan yang baru kudekap, dengan suara asing dari balik kejauhan. Entah suara apa itu. Mungkin suara orang utan yang telah kehilangan rumahnya karena ditebang. Tapi adapun suara aneh yang kudengar seperti suara kucing, tetapi agak lebih garang dan nyaring. Entahlah.
Nyamuk begitu banyak, menusuk dan mengisap darahku tanpa ampun. Tak kuhiraukan hingga aku benar-benar terlelap karena perjalanan yang begitu melelahkan.
Hari-hari kulalui dengan memasuki hutan, memikul kawat, kemudian membentang memperbaiki jembatan dari jalan rawa-rawa. Ataupun sungai yang berbuaya.
Sungguh jauh berbeda ketika aku masih di kampung, menjadi seorang petani dengan lahan garapan sendiri. Tapi sudahlah, itu tidak menghasilkan. Nyatanya aku harus menelan getir ini, sekalipun itu pahit. Pendidikan Aco dan melunasi utang, itu yang terpenting.
Di suatu malam karena kelelahan dan kurangnya istirahat, membuat tubuhku menggigil. Aku benar-benar kedinginan. Kepalaku terasa ingin pecah, hingga berhari-hari aku tidak bisa bekerja seperti biasa. Muntah berkali-kali, nafsu makanku hilang. Hingga suatu ketika aku pingsan dan baru sadar saat rekan-rekan kerjaku membawaku ke rumah sakit di Sotek.
Saya sampaikan kepada mereka agar tidak memberi tahu istriku, supaya ia tidak resah.
Sudah satu minggu aku terbaring lemah di atas kasur rumah sakit, ditemani selang infus berbantalkan rindu. Kadang sesekali rekan-rekan kerja menjengukku. Kata dokter, aku terserang penyakit malaria yang cukup parah.
Tiap saat menjelang malam dan tidur, bayangan istri dan anak-anakku membubungi pikranku. Hingga terkadang air mataku jatuh, sulit kutahan ia.
Di suatu malam, aku bermimpi didatangi oleh mendiang ibunda dan ayah. Katanya, mereka akan membawaku pulang, ke tempat peristrahatan yang abadi.
Esoknya napasku tersenggal-sengal. Penglihatanku rabun. Lidahku terasa kaku, tak mampu mengucap satu kata pun.
“Sakratulmaut, kah, ini? Apa aku akan mati di tanah rantauan? Jika aku mati, siapa yang akan menafkahi keluarga kecilku? Siapa yang akan membayar utangku? Siapa yang akan membiayai kuliah anakku?”
Para perawat datang menghampiri. Tak kudengar apa yang mereka katakana. Mereka memasang alat pacemaker tepat di dadaku. Dadaku terasa terangkat, hingga pelan-pelan sakit yang mahaluar biasa dari ujung kakiku kemudian naik ke perut, ke dada, sebelum benar-benar napasku tercekal di tenggorakan.
Aku seakan kembali pada masa kecil, di mana ada hutan lembut, gununng Tandeallo yang perkasa, hijaunya peponohan, dan seluruh isi alam raya yang pernah kukembara. Bayang ini mengantarku melepas lelahnya dunia dan menindasnya kenyataan.
“Asyhadu alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah. Selamat tinggal dunia yang menindas. Selamat datang alam surga pembebasan.”
Refrensi Diskusi Nalarpolitik.com
Pemateri: Syam
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta. Gemar Nongkrong dan bercanda.
Leave a Comment