Belajar Menjadi Manusia



Kehidupan laksana sasana yang mengantarkan pada sebuah proses untuk mengenal dirinya sendiri — proses yang amat sangat panjang dan berliku. Dalam perjalanannya, manusia memiliki impian dan keinginan untuk selalu tumbuh; berkembang sebagai pribadi yang lebih baik lagi, kemarin, hari ini dan esok ketika sampai pada masa depan. Impian dan keinginan itulah yang kemudian dijadikan sumber kekuatan untuk terus melangkah, membuat, dan mencari hal-hal yang dianggap baru dalam kehidupan. Sampai pada satu titik di mana manusia mengenal dirinya sendiri sebagai makhluk yang dipenuhi watak dan perilaku.
Proses Pengenalan Jati Diri
Manusia dalam kehidupannya selalu identik dengan 3 (tiga) hal yang menjadi pembeda atas makhluk-makhluk di dunia. Tiga hal yang dimiliki manusia inilah yang kemudian disebut sebagai “cipta, rasa, dan karsa”.

Cipta diartikan sebagai kemampuan dari pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru; menciptakan hal-hal yang belum ada sebelumnya dengan tujuan dan niat baik sehingga bisa dipertanggungjawabkan keberadaannya. Dalam agama biasanya hal ini berkaitan dengan proses pemahaman akan sesuatu sebelum akhirnya memunajatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Cipta kerapkali lebih merujuk pada angan-angan yang sifatnya kreatif — kekuatan pikiran dan imajinasi sebagai bentuk pengupayaan untuk mengadakan sesuatu yang belum ada.

Rasa secara umum disebut sebagai tanggapan suatu indra terhadap rangsangan-rangsangan melalui saraf seperti manis, pahit, masam dan semacamnya yang melibatkan indra perasa. Hal ini menjadi salah satu aktivitas di mana saraf bereaksi terhadap sesuatu, kemudian disalurkan ke hati sebagai tanggapan. Arti lain yang sering dipahami adalah, rasa menjadi pendapat atau pertimbangan mengenai hal baik atau buruk, salah atau benar, dan atau pertimbangan-pertimbangan lainnya yang berkaitan erat dengan kata “adil”.

Karsa adalah kekuatan dari jiwa yang dimiliki oleh mahkluk hidup untuk berkehendak. Kekuatan yang dimiliki manusia selalu berbeda-beda, begitu juga keinginan untuk terus menjadi lebih baik. Karsa yang ada dalam diri manusia adalah sebuah cara Tuhan memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kita semua mampu menjadi manusia yang utuh, di mana dalam dogmatisnya adalah bentuk ikrar dan keyakinan sakral — bersifat mengikuti tanpa pernah sekalipun mengkritiknya, ketentuan yang kekal dan harus diterima sebagai kebenaran — yang harus diwujudkan sehingga terciptalah perbedaan dengan makhluk yang lainnya.
Wujud Penciptaan Karya dan Karsa Manusia dalam Panggung Sandiwara
Cipta, rasa, dan karsa adalah sebuah proses awal yang harus dilalui oleh manusia untuk menemukan jati dirinya sendiri. Proses yang nantinya akan mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa hidup didasari keinginan, kepekaan, dan kekuatan yang semuanya bermuara pada kebaikan Tuhan dalam memberikan nikmat serta rahmat-Nya kepada kita semua. Oleh karena itu, maka hal-hal yang harus diingat dari sebuah proses pengenalan jati diri adalah dengan tidak pernah menghilangkan keberadaan Tuhan itu sendiri, karena kehidupan tidak lebih dari panggung sandiwara yang dikemas dengan banyak rupa.

Sasana yang menjadi sebuah tempat mengekalkan diri pada sebagian mereka yang hidup, menjadi tempat untuk unjuk diri, perebutan eksistensi dan ketenaran. Dari sasana itulah kemudian manusia mendorgma dirinya sendiri sebagai alim atau murtad; sebagai yang baik atau buruk; sebagai pribadi yang menang atau kalah, semua itu dilakukan dengan dasar dan niat untuk dikenal “sebagai apa dan siapa” — menuntut pikiran orang-orang untuk menyebut dirinya sebagai penolong atau yang ditolong.

Manusia adalah sebuah perwujudan dari kehidupan,di mana baik dan buruk selalu dipandang dengan mata telanjang namun tidak dengan mata batin: “Yang baik selalu terlihat lebih sempurna oleh mata, namun hal yang benar selalu dapat dirasakan oleh hati. Ruh yang melekat akan mengatakan bahwa nafas tidak lebih dari udara yang dihirup dan dikeluarkan kembali. Sedangkan badan adalah wadah yang dibungkus dan dibaluti daging, kemudian melebur bersama tanah”.

Kehidupan selalu begitu, identik dengan sandiwara di mana panggungnya adalah pilihan yang dibuat pikiran sendiri, begitupun manusia lainnya yang mendoktrin pikiran mereka untuk menciptakan dalih: “Ini adalah wujud dari sebuah karya dan karsa dalam diri manusia yang Tuhan sematkan dalam jiwa kami, niat dan keyakinan yang harus kami emban sebagai makhluk yang naif dan juga berwatak binatang. Namun dari semua hal yang pernah disebutkan, kami adalah keutuhan yang peka pada sebuah keadaan di mana rasa adalah upaya untuk mengenal pencipta”.
Penutup
Cipta, rasa, dan karsa adalah satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan. Ketiganya akan mengantarkan kita semua pada keadaan di mana Tuhan mengajarkan bahwa segala hal yang hidup akan kembali pada-Nya, maka tetaplah pada pendirian awal di mana cipta adalah sebuah proses untuk menciptakan sesuatu yang kosong dalam hatimu, dan rasa adalah sebuah tahapan untuk menemukan niat dan kekuatan untuk mewujudkannya. Begitupun dengan karsa yang menjadi dogmatis atas ketentuan-ketentuan Tuhan berdasarkan keyakinan mutlak manusia.

Akhir kata, jadilah baik untuk dirimu sendiri, bukan untuk mereka ataupun orang lain. Sebab setiap masing-masing penilaian dari setiap orang berbeda-beda, seperti halnya pepatah lama yang mengatakan: “Beda kepala, beda isi”. Maka kembalilah pada hidup yang baik dan benar, bukan pada yang dianggap baik atau benar menurut pandangan orang, akan tetapi menurut pandangan Tuhan Yang Maha Esa (YME).

Salam Hangat,
Ahmed Fauzy Hawi
Diberdayakan oleh Blogger.