Hina Kelana

Gubuk, Danau, Air, Air Refleksi, Pemandangan

Dikirim dari ponsel Pada suatu siang yang tidak terlalu panas karena mentari dibungkus awan tipis, sinarnya redup seredup pandang mata lelaki dalam gubuk reot itu;
Seorang pujangga, Hina Kelana, namanya. Seperti biasa, ia merayu gadis yang sering lewat  di depan gubuknya, gadis itu bernama SumINA.

"Ina, maukah kau bercinta denganku?" Tanya Kelana.
"Aku akan menggelayutimu dengan mesra, mencium susumu, meremasnya, dan memuaskanmu. Aku tak membawa dalil Agama agar kau suka dan memilihku; aku hanya akan memuaskanmu, memuaskanmu Inaaaa," seru Kelana agak mendayu.

Seketika Ina menoleh sedikit semabari berjalan dengan gontai dan menjawab:
"Cih, kamu terlalu jelek, Kelana!  Kamu miskin, kurus, tidak punya harta, tidak! Aku tidak sudi," Ina terus saja berjalan.

Pujangga Hina Kelana keluar dari gubuknya mengejar Ina dan berteriak

"Inaaaa! Meskipun tampangku jelek, miskin, kurus, tidak punya harta, tapi aku masih punya beberapa petak sawah
Jika kamu menerima cintaku. Aku memang tidak akan memberimu bangunan bertingkat, emas permata, atau berlian, tidak Ina, Tidak!
Aku hanya akan menanam padi untuk memberimu kehidupan, menanam jagung untuk melangsungkan hidup yang agung bersamamu Inaaaa..."

"Hihihihi," ketawa Ina sinis. "Bagaimana bisa Kelana, aku tidak pernah melihat sawahmu, mana? Di mana sawah yang kamu katakan itu? Bukankah sekarang sudah bukan milikmu lagi, aku hanya melihat bangunan-bangunan indah, tinggi, gedung-gedung mewah; lalu dimana sawahmu itu...
Kamu mimpi kelana, kamu mimpi! Bangun dari mimpimu itu, ini sudah siang,"

"Huuu... huuuu..." Kelana merasa hatinya seperti ditusuk belati dan air matanya runtuh tanpa dapat ditahannya, iya ingat sekali ketika beberapa waktu lalu sawahanya diambil paksa oleh penguasa.

"Kamu kejam Ina, mengapa kamu bicara seperti itu. Sawahku adalah warisan nenek moyangku; iya memang beberapa hari yang lalu telah dirampas oleh seseorang mengaku penguasa
Sawahku dipaksakan oleh mereka diserahkan, tentu saja dari awal
aku jelas tidak mau, tidak mau Ina.
Demi nenek moyang dan leluhurku aku tidak ikhlas melepasnya; itu hartaku satu-satunya dari peninggalan nenek moyangku yang kelak akan aku wariskan juga pada anak cucuku.
Saat meminta, banyak alasan mereka. Katanya demi kesejahteraan, tapi mana? Di sana-sini rakyat sengsara, koruptor merajalela, makanya aku tidak percaya, tidak mau percaya, dan tentu sawahku akan kuminta tak perduli apa alasannya."

"Hahahahahah," suara Ina makin keras dan ia menoleh ke arah suara Kelana. "Kamu bodoh juga ternyata Kelana, selain miskin! Kamu juga Bodoh!
Mana mungkin dan mana bisa kau memintanya kembali: kenapa kamu tidak berkaca dan melihat dengan mata terbuka sawahmu telah tiada, dan yang meminta tentu mereka punya kuasa sedang kamu tidak punya apa-apa, kekuatanpun kau tak punya; hahahah mau merampas? Yang ada kamu mati ditumpas! Sawahmu sudah jadi bangunan dan gedung-gedung tinggi, bagaimana bisa kau memintanya kembali, dasar bodoh!
Percuma kamu menangis darah sekalipun, percuma sia-sia saja," Ina mempercepat jalannya, iya merasa kasihan pada Kelana, laki-laki miskin yang merayunya.

"Huuu.. huuuuu," suara tangisan Kelana kian keras.

"Kejam sekali kau Ina, siapa bilang aku bodoh, siapa bilang!
Aku hanya diam untuk sementara, Aku mengumpulkan kekuatan dari alam semesta; aku tidak bodoh Ina, yang bodoh itu mereka, yang merampasnya dariku karena jelas aku berhak atas tanahku, tanah leluhurku; aku tidak bodoh, aku akan mengadu kepada Tuhan! Ya aku masih punya Tuhan!

"Hahahahahahahah...."

Ina pun berlalu, dan matahari makin tinggi, seperti raja di atas singgasana saja. Sayup-sayup burung berkicau dan Kelana rebah dalam tangis dan lamunannya.


Yogyakarta, 26 Maret 2019

By: Moh. Hamid


Diberdayakan oleh Blogger.